Mataram - Reportase7.com
Ketua Forum Komunikasi Kepala Desa seNTB menyoroti kebijakan pemerintah pusat dalam hal ini Kemendes Terkait kebijakan menteri Desa yang menyinggung terkait tentang penyerapan pembangunan Desa yang masih di dominasi oleh elit Desa. Hal ini membuat ketua FKKD NTB tidak menerima dengan pernyataan elit Desa mana yang di maksud tersebut.
Adapun yang di maksud oleh menteri Desa yakni, elit Desa adalah Kepala Desa atau pemerintah Desa dalam pengambilan keputusan sehingga tidak dianggap, tidak berdasarkan kebutuhan perencanaan kebutuhan dari pembangunan Desa itu sendiri. Ketua FKKD NTB Sahril SH, menganggap pernyataan sang menteri sangat ngawur.
"Pemerintah Desa atau Kepala Desa tidak berdasarkan regulasi, melainkan selalu berdasarkan peraturan yang mengatur tentang kebijakan itu sendiri dan menteri ini dia nggak sadar bahwa dia telah mengeluarkan permendes Nomor 16 tahun 2019 tentang musyawarah Desa, dalam pengambilan keputusan itu harus berlandaskan daripada musyawarah Desa," ungkap Sahril.
Keresahan Kepala Desa (Kades) dan pemerintah Desa (Pemdes) di NTB kembali bergejolak. Keresahan itu lantaran turunnya Perpres Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian APBN 2022.
Perpres tertanggal 29 November 2021 tersebut mengatur rincian APBDes, khususnya Dana Desa (DD) yang dianggap menabrak sistem perencanaan Desa yang sudah berjalan.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Forum Komunikasi Kepala Desa (FKKD) NTB, Sahril SH, kepada wartawan, Senin, (03/01/2022)
“Perpres itu keputusan yang kurang tepat. Apalagi sekarang di dalam masa pandemi. Bahkan bantuan sosial dari pusat, provinsi, dan kabupaten pun dikurangi,” ujar Sahril.
Pria yang juga menjabat Ketua Asosiasi Kepala Desa (AKAD) Lombok Barat itu menjelaskan, di dalam Perpres Nomor 104 Tahun 2021 dianggap menabrak sistem perencanaan desa yang sudah berjalan dan munculnya Perpres tiba-tiba mem-by pass semua proses. Artinya, saat ini yang terjadi yakni hak-hak Pemdes sudah diamputasi oleh pemerintah pusat.
Berdasarkan undang-undang Desa tahun 2006 tahun 2014 pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah merupakan keputusan tertinggi artinya semua apa yang sudah diatur melalui RKP Desa sudah menjadi ketetapkan namun tidak hargai oleh pemerintah pusat. Bahkan Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres yang tidak berlandaskan dengan PP 60 berdasarkan pasal 20 maupun Permendagri 114.
"Bagaimana sistem perencanaan kami dalam penetapan RKP Desa, di sisi lain menteri ini asbun tidak peka, tidak cermat dalam menyampaikan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal ini kebijakan presiden sehingga Gus menteri ini patut dicopot atau diganti karena tidak memahami tentang apa yang dibutuhkan Desa itu," tegas Sahril.
Perlu diketahui bahwa undang-undang Desa ini ada tiga Kementerian yang mengintervensi dan mengatur, pertama Kementerian Desa, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan. Paling fatal adalah menteri Desa mengeluarkan tentang kewenangan Desa berdasarkan Permenkes nomor 1 tahun 2015 dan juga ada Permendagri 44 tahun 2016 yang mengatur tentang kewenangan Desa skala lokal juga ada dua Kementerian yang mengatur tentang desa rujukannya yang mana Ini jelas di pemerintah pusat bukan di Desa.
"Kalau memang pemerintah masih setengah-setengah memberikan kewenangan Desa berdasarkan hak rekognisi maupun subsidaritas itu Cabut saja bubarkan saja undang-undang Desa itu biar pemerintah pusat yang mengatur semua kebijakannya biar kami pemerintah Desa hanya melayani secara administratif. Kenapa hak-hak kami itu semua sudah diamputasi oleh pemerintah pusat, semestinya pemerintah pusat itu membuat kebijakan itu secara global sehingga kerangka berpikir kita itu yang diatur bukan terkait kebijakannya yang diatur," tegas ketua FKKD NTB.
Dari kebijakan ini membuat Kepala Desa sangat kecewa dan sangat keberatan terhadap apa yang diperlakukan tentang Desa. Apa yang di harapkan oleh pemerintah Desa sepenuhnya itu tidak didapatkan oleh Pemerintah Desa hari ini.
Organisasi Kepala Desa di semua penjuru Indonesia menolak untuk meminta merevisi atau mencabut Perpres 104, terlebih kinerja menteri Desa yang tidak memahami persoalan tentang Desa.
"Gus menteri ini tidak layak menjadi menteri Desa, ya dia tidak layak ini cocoknya harus jadi Kepala Desa dulu, biar belajar. Saya berani adu argumen debat tentang Gus menteri ini datang ke NTB atau mau secara virtual saya siap tantang Gus menteri untuk berargumen tentang bagaimana membangun Desa," Tantang Sahril.
Dari kebijakan yang di anggap gaduh ini membuat batal sistem perencanaan pembangunan di Desa, apa yang sudah kami rencanakan dari jauh-jauh hari dari tahun sebelumnya belum bisa terlaksana karena semua diatur oleh pusat.
“Perpres ini juga kami anggap mengebiri kewenangan desa dalam hal kemandirian pengelola Dana Desa. Di satu sisi, banyak desa yang jumlah penduduknya sedikit, dipastikan tidak akan bisa memenuhi ketentuan Perpres itu,” lanjut Kades Jeringo itu.
Sahril mencontohkan, simulasi anggaran Desa Tambak Sari, Kecamatan Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat. Desa Tambak Sari memiliki jumlah KK 341 dengan DD Rp 918 juta. Jika sesuai Perpres Nomor 104 Tahun 2021, 40 persen DD untuk BLT, maka jumlahnya mencapai Rp 367 juta dalam satu tahun atau Rp 30 jutaan dalam sebulan.
“Perpres ini seakan menjadi semacam pengalihan dana, atau secara tidak langsung kegiatan kementerian dibebankan ke dana desa,” ketusnya.
Pria yang akrab disapa Kades 1 Miliar itu pun mengkhawatirkan, nantinya DD hanya habis untuk BLT. Sedanghan kegiatan lain seperti pembangungan dan pemberdayaan masyarakat justru terganggu.
“Jika tetap dipaksakan, saya khawatir ini akan menjadi gejolak secara nasional. Makanya sebaiknya, kami mohon kepada Pak Presiden agar mencopot Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar,” ungkapnya.
Pewarta : YD
Editor : R7 - 01
0Komentar