(26/04/2022)

Catatan:
Didin Maninggara



Ibadah puasa Ramadhan tinggal seminggu lagi. Ia datang kembali setahun kemudian. Sudahkah kita merenung dan evaluasi diri, tentang nilai yang kita raih dari puasa sebulan penuh.

Tulisan episode ke dua ini, mengangkat poin penting perbincangan saya dari jarak jauh dengan anggota DPRD Kabupaten Sumbawa Barat Fraksi PDIP, Muhammad Saleh, SE.
 
Salah satu nilai puasa yang kita raih, adalah kesadaran personal melakukan pelepasan tekanan hati, lewat zikir, membaca Al Qur'an, dan beragam ibadah lain dalam upaya membebaskan jiwa dari rutinitas masalah, menuju kesadaran transpersonal.

Dalam kesadaran transpersonal, ia meyakini akan tumbuh kesadaran hakikat menjalani ibadah puasa, sehingga muncul kesadaran perawatan jiwa dalam spirit mencintai dan berbagi.

Bang Ale, sapaan gaulnya memaparkan salah satu hakekat puasa adalah merasakan keadaan dan perasaan sesama manusia, khususnya sesama ummat yang selama ini tak berpunya dan lalu berbagi.

Hakikat puasa inilah yang menurut tokoh masyarakat Maluk, ini menimbulkan kesadaran berbagi. Islam mengajarkan berbagi, tidak hanya kepada umat Islam, tapi juga ummat agama lain. Tapi tentunya, lebih mengutamakan sesama ummat yang masih cukup banyak hidup di bawah garis kemiskinan.

@Zakat Fitrah

Momentum berbagi di bulan Ramadhan adalah zakat fitrah.

Bang Ale mengupas dengan mencontohkan, jika ada 10.000.000 orang Indonesia yang mengeluarkan zakat fitrah, maka beras yang dibutuhkan sekitar 30.000.000 kg.

Jika, 200 juta? tanyanya, yang ia jawab, maka perlu 600.000.000 kg beras atau 600 ribu ton.

Bila 1 kg beras dipasar dijual dengan harga paling murah Rp. 10.000,- berarti dana yang berputar Rp. 6.000.000.000. 000, atau Rp 6 triliun.

Hakikat lainnya dari ibadah puasa adalah kesadaran merawat marwah Islam yang menjunjung toleransi vertikal dan horisontal.

Dalam perspektif toleransi vertikal, wakil rakyat yang rendah hati, ini menyebut ada keberadaban dalam menjalin hubungan antar personal yang berdampak langsung dengan toleransi horisontal.

Dengan memiliki toleransi vertikal dan horisontal itulah, seorang hamba Tuhan wajib hukumnya saling menghormati dan menghargai. Atau dalam bahasa verbalnya disebut jangan sombong. Sebab, sombong adalah di antara perbuatan yang dibenci Tuhan, Allah SWT.

Sombong punya beberapa tingkatan yang dimiliki manusia. Semakin tinggi tingkat kesombongan kita, semakin sulit pula kita mendeteksinya. Maka, kata Bang Ale, untuk mendeteksinya, momentum puasa menjadi saat yang efektif  melakukan introfeksi diri.

"Kadang kita butuh orang lain untuk mengintrospeksi diri, kita juga butuh kritikan dan masukan dari orang lain. Tentu, kritikan yang konstruktif," tandasnya.

Karena itu, ia mengajak, mari kita sadari bahwa setiap hal yang baik, yang bisa kita lakukan itu semua adalah karena izin dan pertolonganNya. Maka, hendaklah kita bersyukur kepadaNya. Tetaplah bersabar dan rendah hati.

Di ujung bincang melalui telepon WA, anggota Dewan tiga periode ini, mengingatkan ketika lahir, dua tangan kita kosong. Ketika meninggal, kedua tangan kita juga kosong. Waktu datang, kita tidak membawa apa-apa. Waktu pergi, kita juga tidak membawa apapun. Hanya satu kepunyaan kita yang akan kita bawa kemana pun pergi, yaitu iman, ilmu yang bermanfaat dan perbuatan yang berkemaslahatan.