Mataram - Reportase7.com


Sebuah mozaik. Itulah perumpamaan yang paling tepat untuk menggambarkan perjalanan hidup tentang I Gusti Putu Ekadana, SH, yang begitu berwarna-warni. Betapa tidak, sebagian besar perjuangannya konsisten memperjuangkan advokasi untuk rakyat. (16/08/2022)

Karena itulah, Yayasan Anugerah Prestasi Indonesia (Anugerah Indonesia) menganugerahkan penghargaan “Citra Adhidharma Nusantara 1999” kepada I Gusti Putu Ekadana, SH sebagai salah satu tokoh NTB, atas pengabdian dan dharma bhaktinya bagi nusa dan bangsa.

Penganugerahan tersebut diberikan dalam diskusi publik dengan tema “Perjalanan Sang Tokoh”, Senin, 15 Agustus 2022 di Sayung Resto Jalan Bung Karno No. 31 Kota Mataram.

PERJALANAN SANG TOKOH

I Gusti Putu Ekadana, SH, merupakan Direktur Ekadana and Associates. Ia alumnus Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram) tahun 1985.

Sebagai tokoh, yang memilih jalan perjuangannya melakukan advokasi kepada rakyat tertindas, Ekadana amat sangat menguasai anatomi berbagai persoalan krusial NTB, bumi tempat ia dilahirkan dan dibesarkan.

Ekadana melihat NTB dari sisi lebih spesifik, yakni tantangan maupun aneka persoalannya yang membelit, seperti benang kusut.

Dari aspek topografi, NTB  terdiri dari dua pula utama: Lombok dan Sumbawa. Dihuni lebih dari 5 juta jiwa. 5 kabupaten/kota berada di Pulau Lombok, dan 5 kabupaten/kota di Pulau Sumbawa.

Pulau Lombok maupun Pulau Sumbawa kaya dengan keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna. Pula Lombok yang di tengahnya menjulang tinggi Gunung Rinjani membuat pulau ini subur, karena air dari kaki Gunung Rinjani tiada henti mengalir. Begitu juga Gunung Tambora di Pulau Sumbawa menyimpan keanekaragaman mineral seperti emas, galena, pasir besi dan lain lain. Kekayaan mineral ini terdapat juga diberbagai wilayah lainnya, baik di Kabupaten Bima, Dompu, Sumbawa dan Sumbawa Barat yang dikenal dengan tambang emasnya yang melimpah.

Bagi Ekadana, kekayaan sumberdaya alam NTB tidak memberikan kesejahteraan untuk sebagian rakyat. Salah satu bukti, NTB dari dulu hingga sekarang, jago bertahan menjadi provinsi dengan Indeks Pembangunan Manusianya nomer dua dari belakang setelah Provinsi Papua. Sehingga kemiskinan masyarakatnya menyebabkan juga NTB sebagai penyumbang Buruh Migran terbesar.

Dalam menggambarkan keadaan ekonomi sosial masyarakat NTB, Ekadana mengibaratkan dengan "ayam mati di lumbung padi."

Dari realitas sosial itulah, memantik jiwa juangnya sebagai sosok pendobrak untuk berbuat bagi rakyat yang tertindas, baik secara hukum maupun sosial dan ekonomi.

Melihat realitas sosial di atas, Ekadana untuk lebih banyak melakukan agitasi diri (perenungan). Dari proses agitasi diri inilah, Ekadana memutuskan harus mendobrak tembok kemiskinan masyarakat yang hidup di alam kaya raya ini.

Saat itu, Ekadana berkomitmen dalam dirinya, otak harus di gunakan untuk menata, mulut harus di gunakan untuk bicara, badan harus di gunakan untuk bekerja, dan hati digunakan untuk memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pergolakan batin Ekadana tidak sampai di sana. Timbul pertanyaan besar dalam pikiran dan hatinya. Advokasi struktural ini mulai dari mana..?

Filsafat kehidupan Soekarno adalah salah satu yang mempengaruhi jalan pikirannya, "manusia ketika ingin hidup harus makan, yang di makan adalah hasil kerja, tidak bekerja tidak makan, tidak makan maka matilah iya sebagai manusia".  

Tampaknya filsafat kehidupan Bung Karno inilah yang memantapkan hati Ekadana dalam melakukan perubahan sosial ekonomi di fase awal, dengan memulai advokasi masyarakat untuk mengakses sumber sumber kehidupan masyarakat.

Di zaman Ekadana muda,  tanah adalah alat produksi utama, sehingga ia mulai mengorganisasikan masyarakat dan mengajak menuntut ke penentu kebijakan kala itu.

Sejarah mencatat, Ekadana membuat berbagai macam organisasi massa maupun politik di Nusa Tenggara Barat, mulai dari organisasi organisasi kedaerahan, ataupun sebagai penerima mandat untuk mendirikan organisasi massa dan politik, seperti Pemuda Pancasila, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan lain lain.

Perjuangan Ekadana dalam advokasi struktural ini mulai dari Rempek (KLU). Sekitar 3000 Hektar ia perjuangkan untuk dibagi ke masayrakat Lombok Utara yang tak punya tanah kala itu.

Setelah perjuangan panjang Rempek selesai, Ekadana beralih ke pesisir pantai selatan. Ia memimpin masyarakat long match ke kantor Bupati Lombok Tengah dan menjadi pengacara rakyat menggugagat PT. Rajawali (perkara konvensi). Yang akhirnya setelah reformasi, rakyat menang di PK. Dalam perjuangan inilah terungkap 185 hektar tidak pernah dibeli PT Rajawali, yang kini menjadi ITDC.

Lewat advokasi stuktural dan advokasi legal ini, kemenangan masyarakat terakui, walaupun dengan sebutan kerohiman.

Advokasi Ekadana terus beralih ke ujung timur Pulau Lombok. Tepatnya pantai Sembelia di Lombok timur. Perjuangan menegangkan ia alami,  meski pada akhirnya dapat diselesaikan secara damai dengan penguasa kala itu. Ekadana berhasil mengadvokasi masyarakat Sembalia dengan hasil  900 hektar HGU untuk masyarakat Sembelia.

Ekadana beralih ke Dompu. Ia menentang penguasaan tanah yang begitu besar oleh Bustamil Arifin, seorang menteri orde baru kala itu. Dan perjuangan inipun berbuah manis, karena masyarakat berhasil merebut tanah yang di kuasa menteri dan dijadikan HGU Peternakan.

Ekadana pun menyeberang ke NTT dan mengadvokasi hak atas tanah di Pulau Komodo. Pertarungan sengit pun terjadi melawan Menteri Kelautan.

Dari NTT,  Ekadana kembali ke Lombok Timur atas undangan TGH. Mutawali. Bersama sosok TGH Karismatik di selatan ini, Ekadana mendobrak kroni dan konco konco mafia tanah Tomi Soeharto yang kala itu membeli dengan moncong senjata, dan terjadi penangkapan masyarakat saat sholat Jum'at. Namun, pada akhirnya rakyat menang. Ekadana bersana TGH Mutawali membagi bagi tanah tabuan untuk masyarakat.

Masih di Lombok Timur, perjuangan Ekadana terus berlanjut dengan meyakinkan Bupati Lombok Timur H. Syahdan kala itu untuk tanah eks kapas harus dibagi bagi ke masyarakat.

Seiring itu, Ekadana terus mengagitasi mahasiswa, dan terbentuklah Lembaga Bantuan Hukum Rakyat (LBHR) dimana ada beberapa mahasiswa maju kala itu seperti Bambang Mei, Sira Prayuna, dan Wahijan terjaring di LBHR.

Ekadana juga terus mengorganisasikan masyarakat dalam Barisan Rakyat Pemberantas Kejahatan Korupsi (BPRPKK) yang menyebabkan tumbangnya pejabat pejabat korup di NTB kala itu.

Berjuang pula di Mataram. Ia berteriak agar Pemkot membangun jalan pinggir kali Jangkok-Ampenan untuk memperlancar arus ekonomi masyarakat. Dan bersama Pemkot, akhirnya Ekadana membangun jalan itu.

Setelah itu, di Ampenan (Pondok Perasi) Ekadana kembali berkecamuk batinnya melihat masyarakat beratap langit beralas bumi. Kala itu orde Bupati Ruslan, Gubenur  Gatot Suherman. Ekadana pun kembali memimpin perjuangan rakyat, dan masjid Jihadul Akbar Pondok Perasi adalah bagian dari historis perjuangan itu. Karena kala itu Ekadana meminta masyarakat membangun masjid, tempat mengatur strategi taktik perjuangan. Oleh masyarakat, Ekadana didaulat untuk memberikan nama. Untuk menyadarkan akan pentingnya perjuangan, Ekadana memberikan nama Masjid Jihadul Akbar.

Ekadana pun kembali ke Lombok Timur ingin membangun ekonomi masyarakat dengan konsep tetap menjaga hutan. Hingga lahirlah IUPJL PT. ESL dengan ruh "empak bau aik meneng Tunjung tilah". Namun, sayangnya bupati kala itu Ali BD membuat gerakan.
 
Seiring dengan itu bersama aktivis Feter Hany mengadvokasi masyarakat disabilitas agar di manusiakan, dan Ekadana merekomendasikan  Endri Faundition sebagai pengelola.

Dan atas kepedulian terhadap buruh saat ini, Ekadana ikut mendirikan Partai Buruh dan Ekadana didaulat sebagai Pembina Utama.

Politik Oligarki & Kasus NTB

Dalam diskusi publik yang dipandu jurnalis senior H. Kamil, Ekadana menjawab berbagai pendapat sekaligus pertanyaan yang bergulir.

Terkait praktek politik yang dilakoni partai politik era kini, Ekadana menjelaskan partai politik itu penting. Masyarakat, tidak bisa menghindari keterikatan emosional dengan partai politik. Apalagi dalam konteks penyaluran aspirasi, partai politik masih memiliki manfaat cukup penting untuk membuka akses bagi partai dalam mengambil keputusan di legislatif dan eksekutif.


Namun, Ekadana menyayangkan, ketika partai jadi milik perorangan, maka apa yang kita harapkan dari demokrasi akan sia-sia, karena partai menjadi seperti perusahaan.

"Rentan terjadi oligarki politik," tandasnya.

Mengenai politik uang, ia dengan tegas menyatakan, dapat merusak demokrasi.

Ia pun menyorot politik birokrasi, yang acapkali menunjukkan kecenderungan melakukan dukungan struktural kepada petahana. Implikasi politiknya, bila petahana menang, akan terbentuk "kabinet baru" dan melenyapkan "kabinet lama" sebagai buah manis pendukungan, yang ujung-ujungnya duit.

Ironisnya lagi, ujar Ekadana, tim sukses yang jagonya menang, sudah mengklaim itu bupati, gubernur atau walikota saya, padahal belum dilantik. Dari sisi demokrasi, sah-sah juga, tapi secara etika dan moral tidak elok.

Diskusi publik yang menghadirkan sederet tokoh dan elemen yang punya kompetensi, menyimpulkan, bahwa di NTB banyak timbul kasus yang krusial, meskipun sudah gonta ganti gubernur dan kabinet birokrasinya.

Dengan suara lantang, Ekadana menyatakan, di NTB ini tanah negara ditukar guling.
Hutan dieksploitasi untuk orang kaya, rakyat dapat apa.

Dalam diskusi publik “Perjalanan Sang Tokoh” tersebut, hadir juga selaku pembicara Sekda NTB Lalu Gita Aryadi, Penglingsir Puri Agung Cakranegara Anak Agung Made Djelantik Agung Briang Wangsa yang juga Ketua Paruman Walaka PHDI NTB, Ketua PHDI Pemurnian NTB Pinandita I Komang Rena dan beberapa pembicara lainnya.

Ditemui usai memberikan paparan, Sekda NTB Lalu Gita Aryadi memberikan tanggapan para peserta diskusi yang menyoroti beberapa kebijakan Pemprov NTB.

“Terkait hal-hal yang diungkapkan para peserta diskusi tadi, kami belum tahu informasi yang lengkap. Sepanjang itu adalah untuk kemaslahatan bersama, tugas pemerintah adalah memfasilitasi sebagaimana yang diharapkan,” ucap Gita singkat dan langsung memasuki mobil.

Untuk diketahui, diskusi publik “Perjalanan Sang Tokoh” yang dianugerahi “Citra Adhidharma Nusantara '99" merupakan kerjasama Ekadana and Associatesd dengan Gabungan Jurnalistik Investigasi NTB

Pewarta: GJI NTB
Editor: R7 - 01