Mataram - Reportase7.com
Sebanyak 364 Kepala keluarga (KK) di Desa Tambak Sari, Kecamatan Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat menuntut hak mereka, berupa lahan tambak yang kini dikuasai salah satu perusahaan berinisial PT. BHJ.
Awalnya, lahan tersebut merupakan lahan mereka selaku warga transmigrasi pada tahun 2000 lalu sebagai kompensasi dari Kementerian Transmigrasi.
"Saat transmigrasi, kita diberikan 5 are lahan pekarangan dan 5000 meter persegi lahan tambak. Tapi kok pada 2012 muncul sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) untuk PT. BHJ," jelas salah satu warga setempat, Rahmat Hidayat saat konferensi pers di Mataram, Sabtu (03/12/2022).
Dikeluarkannya sertifikat HGU itu pun membuat 364 KK warga transmigran bingung. Sebab sejak menempati lahan tersebut sejak tahun 2000, mereka belum mendapatkan alas hak berupa sertifikat hak milik. Justru kemudian Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi NTB menerbitkan HGU Nomor SK: SK.1/HGU/BPN-52/4/01/2012 atas lahan tambak tersebut kepada PT. BHJ. Padahal sebelumnya, BPN pusat sudah mengeluarkan surat keputusan Nomor: 50/HPL/BPN/2000 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas Nama Badan Administrasi Kependudukan dan Mobilitas Penduduk Atas Tanah di Kabupaten Sumbawa di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
"Kita dari awal menjadi transmigran, hanya mendapat SHM lahan pekarangan saja, katanya sertifikat SHM tambak menyusul. Sementara lahan tambak kita belum pernah diberikan, justru muncul HGU untuk perusahaan," ketusnya.
Selain dari BPN pusat tahun 2000, masyarakat juga memilki bukti kuat jika lahan tambak tersebut merupakan hak mereka. Hal ini dibuktikan dengan keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor: 275/MEN/IX/2009 tentang Penyerahan Pembinaan Pemukiman Transmigrasi kepada Pemerintah Daerah tahun 2009. Selain itu ada pula surat DARI Dirjen Pengembangan Kawasan dan Transmigrasi Nomor: B.109/DPDTT/TPKTrans/01/2017 tentang Permasalahan Eks UPT. Tambak Sari, Kecamatan Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat, yang di dalamnya berisi SHM untuk lahan tambak dan pekarangan diberikan sepenuhnya.
"Kami ingin Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat hadir di tengah penderitaan kami. Kami di sana sekarang seolah bukan warga negara. Sebab pihak perusahan juga sering datang dengan membawa aparat jika ada masyarakat ingin menggarap lahan tambak yang mereka rintis selama 22 tahun terakhir.
Warga Tambak Sari lainnya, Rustam juga mengaku selama ini masyarakat seolah menjadi "kacung di tanah mereka sendiri". Sebab, mereka tidak bisa lagi menggarap lahan tambak itu selama beberapa tahun terakhir.
"Kami ingin tau, siapa sebenarnya yang jadi mafia di sini?" tantang pria yang juga Ketua Perwakilan Masyarakat Transmigran Desa Tambak Sari itu.
Keprihatinan nasib warga transmigran juga diakui Kepala Desa Tambak Sari, Suhardi. Dia menjelaskan bahwa sejak dibukanya lahan transmigrasi pada tahun 2000, masyarakat memang diberikan akses untuk mengelola lahan pekarangan. Sementara lahan tambak belum pernah diberikan meski surat dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI sudah mengirimkan surat kepada pemerintah daerah pada tahun 2009 lalu.
"Yang kami sayangkan, penerbitan HGU ini tanpa sepengetahuan masyarakat dan juga tidak ditembuskan ke Pemerintah Desa," ungkap Kades.
LPBH PWNU NTB Pasang Badan
Wakil Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PWNU NTB, Sahril SH mengaku siap pasang badan memperjuangkan hak masyarakat Desa Tambak Sari. Dirinya bersama tim, akan berjuang demi mengambil alih lahan yang dikuasai pihak swasta yang diduga dibacking oleh "Mafia Tanah" Ini.
"Ini kan jelas pemerintah zalim. Kehadiran kami ini untuk memberantas mafia tanah di NTB, dan Negara harus hadir di sini. Negara tidak boleh membela mafia tanah," tegas Sahril.
Sahril juga menyarankan agar Menteri ATR/BPN dan juga Presiden membuat tim khusus untuk menuntaskan kasus ini. Sebab saat ini, khususnya di NTB kata dia, instruksi Presiden dan Menteri ATR/BPN tidak dijalankan.
"Dalam kasus ini, bisa kita sebut adanya mafia berjamaah," tegasnya.
Sementara Ketua LPBH PWNU, Dr. Irfan Suriadiata, S.Hi.MH mengungkapkan bahwa beberapa waktu lalu, masyarakat mendapat sertifikat hak milik dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Akan tetapi sebelum nyampe kepada masyarakat, sertifikat itu ditelikung oleh salah satu perusahaan.
"Katanya hasil lelang. Bagaimana mungkin dilelang barang milik orang lain, tanpa melibatkan pemilik lahan juga. Nah, atas dasar lelang, makanya dieksekusi oleh perusahaan itu," jelas dia.
Irfan juga mempertanyakan asbab munculnya surat lelang yang dimenangkan PT. BHJ. Sebab selama ini, lahan tersebut sebagai lahan yang dikuasai warga transmigran.
"Kami akan bersurat ke Kementerian ATR/BPN, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, BPN Pusat, Kejagung dan semua leading sektor lainnya. Yang jelas kami akan berjuang sampai masyarakat mendapatkan haknya. Sebab kalau kita diam, nanti oknum mafia tanah ini merasa dirinya paling kuat," tandasnya.
Pewarta: Fitri
Editor: R7 - 01
0Komentar