Jakarta - Reportase7.com
Advokat senior dan juga merupakan ketua DPP Bidang Advokasi Hukum partai UMMAT Juju Purwantoro, SH., MH, menyoroti beredarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kontroversial di kalangan publik tanah air. (02/06/2023)
Akhir-akhir ini begitu santer publik dihebohkan dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kontroversial. Hal itu disebabkan Judicial Review yang telah divonis MK telah berdampak tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Padahal MK yang dibentuk di era reformasi dimaksudkan sebagai pengawal dan penjaga konstitusi (the guardian of constitution), sesuai UUD 1945.
Dijelaskan Juju bahwa, secara normatif putusan MK antara lain menyatakan atau manafsirkan suatu norma UU apakah sejalan (konstitusional) atau bertentangan dengan UUD, sehingga batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sebagai contoh adalah vonis MK yang menjadi polemik dan sorotan publik antara lain, No.112/PUU-XX/2022, tanggal 25 Mei 2023, diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, atara lain klausul Pasal 29 (huruf e) UU No.19/2019 tentang Perubahan atas UU No.30/2002 tentang KPK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”. Juga diktum perpanjangan masa jabatan komisioner KPK menjadi 5 (lima) tahun, padahal vonis norma itu 'Open Legal Policy' yang menjadi kewenangan DPR sebagai lembaga legislasi.
"Hal itu berpotensi merampas fungsi dan kewenangan konstitusi (legislasi) DPR RI sebagai lembaga legislatif," tegas Juju.
Putusan KPK tersebut juga berdampak terhadap Firly Bahuri (ketua KPK), walau bertentangan dengan azas tidak berlaku surut (non retroaktif). Semestinya Firly berhenti pada 20 Desember 2023, secara hukum jadi diperpanjang satu tahun hingga 20 Desember 2024.
"Suatu putusan MK bisa saja dijadikan bagian strategi politik Pemilu 2024, yang tidak mustahil akan menarik- narik Bakal Calon Presiden (Bacapres) 2024 Anies Baswedan bagi kepentingan politik para pesaingnya," terangnya.
Terkait hat tersebut, Anies juga angkat bicara soal putusan MK yang diduga bocor, tentang sistem pemilu 2024 yang akan dirubah dari sistim proporsional terbuka menjadi tertutup.
Menurut Anies, jika hal itu benar diputuskan MK, maka akan terjadi "kemunduran demokrasi di Indonesia."
"Kalau ini jadi sistim tertutup kita kembali ke era pra demokrasi.
Sistem proporsional tertutup membatasi rakyat untuk memilih calon wakilnya, segala sesuatu pun diatur oleh partai," ujar Anies.
Anies juga menambahkan, jadi sistem proporsional terbuka harus dipertahankan dan kesempatan kepada rakyat untuk menentukan calonnya jangan sampai di hapus karena itulah indikator bahwa kekuasaan ada ditangan rakyat.
Seperti pertama kali digaungkan mantan wakil menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Denny Indrayana, bahwa vonis MK terkait hasil Judicial Review UU 7/2017 tentang Pemilu, disinyalir akan dikembalikan dari sistem proporsional terbuka menjadi tertutup.
Jika sistem tertutup tersebut diterapkan, tentu kita berpotensi akan mengalami kemunduran dan menciderai demokrasi dalam sistim Pileg atau Pilpres. Justeru sistem terbuka tersebut sudah diterapkan sejak awal reformasi, demi keadilan dan kedaulatan sistim perwakilan rakyat.Terlepas masing- masing sistim pemilu ada kelemahan dan kelebihannya, setidaknya sistim permusyawaratan perwakilan (terbuka) lebih aspiratif sesuai philosopi Pancasila.
Anies juga mengomentari perihal Jokowi akan tidak netral (cawe-cawe) urusan Negara termasuk pemilu 2024, karena ungkapan kekhawatiran hingga Penjegalan capres 2024, saat konferensi pers di Sekretariat Koalisi Perubahan, Jalan Brawijaya, Jakarta Selatan, Selasa (30/5/2023).
"Ada yang mengungkapkan kekhawatiran kriminalisasi, tentang tidak netralnya penyelenggaraan pemilu, tentang para caleg, partai- partai, calon-calon presiden yang dapat perlakukan tidak fair," tambah Anies.
Meski demikian, Anies berharap ungkapan kekhawatiran itu tak terwujud paska Jokowi bilang akan cawe-cawe masalah capres.
Sesuai konstitusi UUD 1945, seyogiyanya setiap partai dan setiap caleg punya hak dan perlakuan yang sama untuk mencalonkan dan dicalonkan sebagai anggota legislatif, juga bebas berkampanye.
"Begitu juga setiap capres memiliki hak konstitusional yang sama secara adil, fair, dan netral," tandasnya.
Pewarta: Red
Editor: R7 - 01
0Komentar