Sumbawa - Reportase7.com
Konflik agraria akibat ekspansi perkebunan Sisal kembali terjadi. Pendekatan represif di wilayah konflik agraria yang sudah berlangsung lama kembali dipertontonkan aparat. Kali ini masyarakat Mentingal di Desa Sepayung, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, yang menjadi sasaran tindakan refresif aparat keamanan untuk membekingi perusahaan.
Dua orang warga pasangan suami istri dikriminalisasi, di depan 2 orang anaknya yang baru duduk di bangku kelas 3 (tiga) Sekolah Dasar. Masni bersama suaminya berusaha menghadang 4 Oknum Aparat Keamanan (Brimob) lengkap dengan senjata laras panjangnya, yang sedang mendampingi pihak perusahaan datang ke lokasi lahan yang di kelola Masni bersama suaminya. (06/06/2024)
Kedatangan mereka bukan dengan cara baik-baik. Pihak Perusahaan PT. Sumbawa Bangkit Sejahtera (PT. SBS) Selain di beking aparat mereka juga membawa 2 orang, lengkap dengan alat semprot herbisida di punggungnya. Masni dan suaminya berusaha menghentikan aktivitas penyemprotan herbisida yang dilakukan oleh pihak perusahaan pada tanaman cabe yang selama ini mereka rawat dengan baik.
Pihak perusahaan ingin memaksa Pasutri mengosongkan lahan tersebut. Karena mereka merasa telah menang dalam gugatan masyarakat di PTUN Mataram atas tanah yang sekarang masih di garap oleh Masni dan suaminya, padahal semuanya masih berjalan. Proses sengketa belum mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat. Karena masih akan menempuh upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Mataram
Peristiwa tersebut terjadi Rabu 05 Juni 2024 Jam 09.00 Wita, saat dua orang petani Mentingal ini berada di lahannya yang menjadi objek sengketa dengan PT. SBS. Mereka mendapat tekanan dari aparat keamanan yang membekingi perusahaan. Bahkan Oknum aparat tersebut sempat melakukan tembakan sebanyak dua kali, meskipun tidak mengarahkan senjatanya ke dua warga Mentingal tersebut. Kejadian itu tepat terjadi didepan mata kedua anak Masni hingga mereka ketakutan.
Sendi Akramullah, Aktivis Lingkungan dan HAM menanggapi peristiwa Mentingal menandakan Pemerintahan Jokowi tidak bergeming untuk merubah pola-pola penanganan aparat di wilayah konflik agraria yang selalu menggunakan pendekatan represif dan intimidatif dengan cara menurunkan barisan aparat keamanan. Ia menyebutkan Pemerintah tidak pernah belajar dari wajah buruk penanganan dan penyelesaian konflik agraria selama 9 (sembilan) tahun terakhir. Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), selama dua periode pemerintahan Presiden Jokowi (2015-2022) sudah tercatat 69 korban tewas di wilayah konflik agraria.
"Peristiwa yang terjadi di Sepayung ini semakin menambah daftar panjang korban refresifitas di wilayah konflik agraria. Wajah buruk agraria ini, akibat penanganan yang bersifat bussniness as usual; menggunakan cara-cara represif, mobilisasi aparat sebagai beking perusahaan ketimbang bersikap netral di wilayah konflik agraria," ujar Sendi.
Tak heran, warga mengalami krisis berlapis, sebagai korban konflik agraria, juga korban brutalitas aparat dan perusahaan karena menuntut hak atas tanahnya.
Patut dicatat, aksi perlawanan yang dilakukan oleh dua warga Mentingal bukanlah tanpa dasar, apalagi distigmatisasi sebagai tindakan kriminal yang harus dihadapkan dengan mobilisasi aparat kepolisian. Institusi kepolisian selalu mengedepankan cara-cara kekerasan, terus-menerus abai untuk memahami konflik agraria struktural, bagaimana sejarah penguasaan tanah oleh korporasi sisal yang memasuki wilayah hidup warga setempat.
"Inilah penjajahan gaya baru, mirip seperti konsesi-konsesi kebun Belanda memulai operasinya, memasuki wilayah masyarakat tanpa consent (persetujuan) dan lalu mengklaim secara sepihak dengan dalih mengantongi ijin lokasi dan/atau Hak Guna Usaha (HGU), kemudian menggunakan ketakutan dan ketidaktahuan warga," tegas Sendi.
Perusahaan menjanjikan iming-iming kerjasama inti-plasma, yang secara tidak langsung didesak untuk menyerahkan tanahnya. Masyarakat dipaksa secara halus oleh kekuatan modal dan beking aparat, warga setempat, masyarakat adat, para petani dari pemilik tanah didorong menjadi orang tak bertanah dan dijanjikan jatah plasma sebagai petani-pekerja kebun inti-plasma.
"Tidak ada yang lebih berharga dari nyawa manusia dan hak konstitusional warga atas tanah serta wilayah hidupnya," lanjutnya.
Terlebih kepentingan investasi yang selalu mendapatkan keistimewaan kebijakan dan pengawalan penuh aparat.
"Alih-alih menyelesaikan konflik dan melaksanakan Reforma Agraria bagi Petani dan Masyarakat Adat, justru aparat dikerahkan untuk menembaki masyarakat yang memperjuangkan hak atas tanahnya," tandasnya.
Febriyan Anindita, Advokat yang tergabung dalam Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) yang juga Direktur LBH Sarea menyampaikan, selama dua periode pemerintahan Presiden Jokowi, sedikitnya telah terjadi 2.710 (2015-2022) letusan konflik agraria. Dari jumlah tersebut, perusahaan perkebunan dan penerbitan atau perpanjangan HGU selalu menjadi penyebab konflik agraria tertinggi dengan jumlah letusan mencapai 1023 konflik 37%, dibanding sektor lainnya kehutanan, pertambangan, infrastruktur dan lain-lain.
Alih-alih melakukan evaluasi dan memberikan sanksi berat kepada perusahaan-perusahaan perkebunan tersebut, termasuk mengevaluasi penerbitan-penerbitan konsesi tanah yang menggusur dan merampas tanah masyarakat, justru perusahaan terus saja diberikan keistimewaan perlakuan termasuk legitimasi hukum dan seperangkat kebijakan untuk melakukan kejahatan agraria dan pelanggaran HAM.
"Hasilnya, perampasan-perampasan tanah terus-menerus terjadi untuk kepentingan perluasan bisnis para pengusaha dan taipan yang bersifat lapar tanah, dan ini terjadi dengan legitimasi hukum oleh pemerintah," ungkap Febriyan.
Atas kejadian petani Mentingal Desa Sepayung, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sarea bersama teman-teman aktivis HAM mendesak kepada berbagai pihak.
Berikut pernyataan sikap LBH Sarea dan Aktivis HAM dan Lingkungan. diantaranya;
-Kapolres Sumbawa segera tertibkan oknum-oknum aparat yang turut memberikan bekingan untuk perusahaan, dan menakut-nakuti warga.
-Kapolda Nusa Tenggara Barat, segera tarik mundur aparat kepolisian dari wilayah konflik, usut tuntas dan tindak tegas aparat yang melakukan tindakan refresif dalam penanganan konflik agraria Mentingal;
-Kapolri, harus bertanggung-jawab penuh atas Kejadian Mentingal Desa Sepayung, dengan evaluasi menyeluruh prosedural dan bentuk penanganan represif aparat kepolisian di Mentingal, dan di berbagai wilayah konflik agraria lainnya yang telah banyak menyebabkan korban jiwa, sekaligus mencopot kapolsek, kapolres dan/atau kapolda yang berada di belakang kekerasan penanganan konflik agraria.
-Gubernur Nusa Tenggara Barat harus bertanggung jawab atas sebab-akibat konflik agraria yang berujung pada tekanan fisik dan mental di Mentingal dengan segera membentuk Tim Penyelesaian Konflik Agraria dengan pelibatan masyarakat setempat, organisasi masyarakat sipil dan pemuka agama;
-Ketua Komnas HAM bersama Komnas Perempuan, segera melakukan investigasi terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan PT. Sumbawa Bangkit Sejahtera dan aparat keamanan dalam penanganan konflik agraria di Mentingal.
-Menteri ATR/BPN harus bertanggung-jawab, penuhi hak rakyat Mentingal atas tanah, segera mengevaluasi serta mencabut HGU PT. SBS, serta seluruh HGU perusahaan perkebunan yang telah menyebabkan konflik agraria, perampasan tanah masyarakat dan korban jiwa di berbagai wilayah,
-Presiden memastikan seluruh jajarannya untuk segera menghentikan proses-proses perampasan tanah rakyat atas nama investasi dan bisnis sisal, menghentikan penanganan polisi yang represif, dan segera menyelesaikan konflik agraria di Mentingal Desa Sepayung sebagai upaya pemulihan hak-hak rakyat atas tanah.
-Presiden segera memastikan seluruh menteri terkait untuk mengevaluasi sistem dan kebijakan perkebunan inti-plasma yang tidak adil, korup dan telah berdiri di atas tanah-tanah masyarakat, memasukan desa-desa dan kampung-kampung ke dalam konsesi HGU perusahaan perkebunan.
-Presiden, jalankan Reforma Agraria Sejati di wilayah-wilayah konflik agraria struktural yang berpuluh tahun diklaim secara illegal dan manipulatif oleh perusahaan perkebunan swasta maupun negara, kembalikan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pewarta: Red
Editor: R7 - 01
0Komentar