Perusakan Bale Adat, Kejari Lombok Timur: Kami Belum Terima Berkas Tujuh Tersangka Dari Penyidik Polres Lotim

Lombok Timur - Reportase7.com

Berkas 7 orang tersangka dalam kasus perusakan Bale Adat di Dusun Kedome, Desa Ketapang Raya, Kecamatan Keruak, Lombok Timur, sampai saat ini belum dikembalikan pihak penyidik Polres Lombok Timur ke penyidik Jaksa Kejari Lotim.

Kepala Seksi (Kasi) Intelijen Kejari Lotim, Lalu Muhammad Rasyidi, SH., MH, mengatakan hingga kini penyidik Polres Lombok Timur belum menyerahkan berkas yang sudah di SPDP - kan tertanggal 13 Mei 2024 lalu.

"Kami minta berkas penyidikan kasus perusakan Bale Adat untuk dikirim segera," ujar Rasyidi.

Penyidik jaksa tentu belum bisa memberikan penjelasan terkait progress penanganan kasus yang membelit H. Sukismoyo, cs selaku tersangka, karena berkas tersangka masih di penyidik Polres Lombok Timur. (05/07/2024)

"Kami belum terima berkasnya yang sudah sekian lama ini. Kalau sudah ada, pasti akan kami sampaikan," terang Rasyidi.

Sesuai pengiriman Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh penyidik Polres Lombok Timur tertanggal 13 Mei 2024, H. Sukismoyo bersama 6 tersangka lainnya sudah dikirim ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Lombok Timur.

Surat bernomor.B/658/V/RES.1.10/2024/Reskrim tanggal 13 Mei 2024 berisi tentang keterlibatan para tersangka dalam sangkaan pasal 170 KUHP juncto pasal 406 KUHP juncto pasal 55 KUHP dimana para tersangka melakukan tindak pidana dengan terang - terangan dan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang dan atau pengrusakan juncto turut serta.

Menanggapi lambannya penyerahan berkas terhadap 7 orang tersangka kasus perusakan Bale Adat, penasehat hukum Sainah, M. Kaprawi Abdul Majid, SH, MH, harus mengacu pada SOP. Berkas ke 7 orang tersangka tersebut semestinya sudah diserahkan kepada Penuntut Umum. Mengingat SPDP dimaksud sudah hampir 2 bulan, sementara batas maksimal yang telah ditetapkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 130/PUU-XIII/2015 adalah hanya 7 hari setelah dikeluarkannya perintah penyidikan.

"Kami sebagai penasihat hukum Ibu Sainah menilai hal tersebut jelas berimplikasi kerugian bagi Pelapor (Ibu Sainah). Sebab, hak-hak pelapor  menjadi tidak pasti dikarenakan mekanisme yang tidak tegas dan jelas," tegas Kaprawi.

Ia memegaskan, hal ini berimbas tidak adanya kepastian hukum terhadap sebuah perkara tindak pidana yang merugikan pelapor (Ibu Sainah, Red) sebagai korban yang juga tidak sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Jangan sampai Pasal 109 Ayat (1) KUHAP yang menyatakan, 'dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. 

"Terkesan berbelit-belit, sehingga tidak memiliki kepastian hukum," terang Kaprawi menjelaskan.

Masih kata Kaprawi, sementara Pasal 109 Ayat (1) KUHAP tersebut telah di-judicial review, sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang amarnya menyatakan  bahwa Pasal 109 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum’ tidak dimaknai penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan.

Oleh karenanya, dirinya berharap lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentunya telah memberikan kepastian hukum bagi kliennya, Ibu Sainah sebagai pencari keadilan.  Penyampaian berkas SPDP kepada Penuntut Umum wajib, dan harus segera dilakukan.

"Dengan disampaikan berkas SPDP itu, tentu penuntut umum akan bisa mengontrol tentang perkembangan penyidikan perkara yang sedang ditangani oleh penyidik," tandasnya.

Pewarta: Red/CN
Editor: R7 - 01