Mataram - Reportase7.com
Direktur Lombok Global Institut (LOGIS) NTB, M. Fihiruddin, melontarkan gagasan yang menarik perhatian publik terkait kesejahteraan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Ia menyerukan perlunya penyesuaian gaji anggota DPRD yang telah stagnan selama lebih dari 10 tahun. Menurutnya, langkah ini merupakan kebutuhan logis untuk mendukung peningkatan kinerja para wakil rakyat.
“Selama satu dekade terakhir, kita melihat UMR dan UMK terus meningkat, tetapi gaji anggota DPRD tidak mengalami perubahan. Bagaimana kita bisa mengharapkan kinerja maksimal dari mereka jika kebutuhan dasar mereka sendiri tidak terpenuhi secara proporsional?” ujar Fihiruddin dalam wawancara eksklusif di Mataram, Rabu 01 Januari 2025.
Ia menegaskan bahwa kenaikan gaji bukan sekadar pemenuhan kebutuhan pribadi, melainkan bagian dari strategi untuk menciptakan kondisi kerja yang lebih baik. Dengan gaji yang sesuai, anggota DPRD dapat lebih fokus dalam menjalankan tugas legislasi, pengawasan, dan penganggaran tanpa terbebani oleh masalah finansial.
Perbandingan dengan NTT, Gaji Lebih Tinggi, PAD Lebih Rendah
Fihiruddin kemudian membandingkan kondisi gaji DPRD NTB dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurut data yang ia paparkan, gaji anggota DPRD NTT saat ini mencapai Rp70 juta per bulan. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan DPRD NTB yang hanya menerima Rp 53 juta per bulan. Yang menarik, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi NTT jauh lebih rendah daripada NTB.
“Ini ironi besar. NTT dengan PAD yang lebih rendah bisa memberikan gaji yang jauh lebih besar kepada anggota DPRD mereka. Sementara itu, NTB dengan PAD yang lebih tinggi, justru stagnan selama 10 tahun terakhir,” ungkapnya dengan nada kritis.
PAD Provinsi NTB diketahui mencapai lebih dari Rp2,6 triliun pada 2024, sementara NTT hanya sekitar Rp1,8 triliun. Fakta ini memperkuat argumen bahwa DPRD NTB sebenarnya memiliki ruang fiskal untuk menyesuaikan gaji anggota dewan tanpa membebani anggaran daerah secara signifikan.
“Ketika NTT mampu memberikan gaji Rp 70 juta untuk anggota DPRD mereka, kita di NTB harus bertanya: Apa yang salah? Apakah ini soal prioritas atau kurangnya keberanian dalam mengambil langkah strategis?” tambah Fihiruddin.
Kritik dan Harapan
Namun, gagasan ini tidak lepas dari kritik. Sebagian masyarakat merasa bahwa kenaikan gaji anggota DPRD tidak semestinya menjadi prioritas utama. Mereka berpendapat bahwa dana tersebut lebih baik dialokasikan untuk program pembangunan atau peningkatan layanan publik.
Menanggapi hal ini, Fihiruddin menekankan bahwa kenaikan gaji harus diiringi dengan peningkatan kinerja dan transparansi. Ia juga mendorong pemerintah dan DPRD NTB untuk membuka ruang dialog dengan masyarakat agar usulan ini dapat dipahami sebagai bagian dari upaya memperkuat demokrasi daerah.
“Dengan gaji yang layak, kita bisa menuntut kinerja yang lebih baik. Tapi transparansi adalah kunci. Rakyat perlu tahu bagaimana anggaran digunakan dan bagaimana kinerja DPRD dievaluasi,” katanya.
Kesimpulan
Wacana kenaikan gaji DPRD NTB bukan hanya soal angka, melainkan mencerminkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan kesejahteraan sekaligus kinerja para wakil rakyat. Perbandingan dengan NTT memberikan perspektif baru bahwa langkah ini sebenarnya sangat mungkin dilakukan, asalkan diiringi dengan transparansi dan komitmen untuk meningkatkan kualitas kerja.
Kini, bola ada di tangan pemerintah dan DPRD NTB. Akankah mereka berani mengambil langkah maju untuk memperbaiki sistem yang ada, atau tetap berdiam diri dengan alasan menghindari kritik publik? Hanya waktu yang akan menjawab, namun satu hal yang pasti, masyarakat akan terus memantau.
Pewarta: Red
Editor: R7 - 01
0Komentar