Mataram - Reportase7.com
Sidang praperadilan antara PT. Sino Indo Mutiara, sebuah perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang bergerak di bidang budidaya mutiara, dengan Direktorat Polisi Perairan dan Udara (Ditpolairud) Polda NTB memasuki babak baru. Pada sidang kedua, Rabu (19/03/2025), pengadilan mendengarkan keterangan ahli dari pemohon, I Gede Gunanta, A.Pi., SH, anggota Biro Hukum Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) NTB yang juga seorang pelaku dan Ahli Budidaya Mutiara.
Gede Gunanta hadir sebagai ahli dalam perkara praperadilan yang diajukan oleh PT. Sino Indo Mutiara terkait penetapan tersangka terhadap Melliana Dewi, Direktur perusahaan tersebut. PT. Sino Indo Mutiara merupakan perusahaan PMA yang bergerak di bidang budidaya mutiara di perairan Desa Batu Putih, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat, NTB.
Dalam pandangannya, Gede Gunanta menyoroti penerapan Pasal 92 jo Pasal 62 Ayat (1) UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jo UU Cipta Kerja. Menurutnya, pasal tersebut tidak seharusnya dimasukkan dalam rumpun kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 UU Cipta Kerja. Dia menjelaskan bahwa sebagian besar pasal-pasal yang mengatur sanksi pidana dalam undang-undang sektoral Bidang Kelautan Perikanan seperti misalnya UU Perikanan, UU Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K), serta UU sektoral lainnya yang diintegrasikan ke dalam UU Cipta Kerja berubah menjadi sanksi administratif.
"Semangat UU Cipta Kerja adalah mengedepankan sanksi administratif terkait perizinan berusaha. Sanksi pidana dijalankan setelah "Masa Tenggang" pemenuhan sanksi administratif berakhir dan tidak ditanggapi oleh pelaku usaha. Sanksi pidana juga dapat langsung dikenakan jika tindak pidana mengakibatkan korban jiwa atau membahayakan keselamatan, keamanan, kesehatan, dan lingkungan," jelas Gede Gunanta mengutip materi sosialisasi yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan NTB.
Gede Gunanta juga menekankan bahwa sebagai perusahaan PMA, semua perizinan PT. Sino Indo Mutiara dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Badan Penanaman Modal/Kementerian Investasi. Dia mengkhawatirkan implikasi luas jika proses hukum PT. Sino berlanjut dan diputus bersalah, karena ribuan pelaku usaha sektor kelautan dan perikanan berpotensi diproses hukum. Hal ini mengingat sebagian besar pelaku usaha Sektor Kelautan Perikanan belum memenuhi Perizinan Berusaha sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Gede Gunanta juga menyoroti perbedaan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud Pasal 92 UU Perikanan berikut perubahannya dalam UU Cipta Kerja yang mengatur sanksi pidana dengan Pasal 26B UU Cipta Kerja (diintegrasikan dari UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) yang mengatur sanksi administratif. Hal tersebut dapat menimbulkan keraguan dalam penegakan hukum.
"Dalam situasi seperti ini adalah beralasan hukum jika diterapkan azas in dubio pro reo yaitu azas hukum yang pada pokoknya menyatakan bahwa jika terjadi keraguan akibat pengaturan pasal yang berbeda, maka kepada tersangka atau terdakwa dikenakan ketentuan yang paling meringankan," tegasnya.
Selain itu, Gede Gunanta juga mengingatkan azas lex favor reo dalam hukum pidana, yang menyatakan bahwa jika satu perkara diatur oleh dua undang-undang yang berbeda, maka ketentuan yang paling ringan diterapkan terhadap pelaku.
Batas Waktu Penyerahan Berkas Perkara
Menanggapi perdebatan dalam persidangan terkait ketentuan Pasal 73B angka (6) UU Perikanan yang mengatur batas waktu pelimpahan berkas perkara kepada kejaksaan (penuntut umum) yaitu paling lambat 30 hari sejak pengiriman Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), Gede Gunanta berpendapat bahwa ketentuan ini tetap berlaku meskipun tersangka juga disangkakan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pasal dalam undang-undang lain.
"Ketentuan batas waktu 30 hari yang dimaksud dalam UU Perikanan tetap berlaku karena dalam Pasal 73 B tersebut tidak mengatur adanya pengecualia," terangnya.
Pembuat undang-undang menetapkan lanjut Gede Gunanta, batas waktu singkat seperti itu tentu telah mempertimbangkan berbagai aspek. Mengingat barang bukti dalam tindak pidana perikanan, seperti ikan,udang atau kerang merupakan produk mudah busuk atau barang bukti kapal memerlukan perlakuan khusus jika disita.
Dalam persidangan Gede Gunanta juga menjelaskan teknis budidaya mutiara mulai kegiatan pembenihan di Hatchery sampai dengan penyuntikan secara detail dan lugas. Hal tersebut dapat dimaklumi. Mengingat selain sebagai pelaku usaha, Gede Gunanta adalah seorang Ahli Budidaya Mutiara bukan hanya di Indonesia tetapi juga seorang Konsultan untuk Babla Pearls Private Limited, sebuah perusahaan Mutiara yang berkantor pusat di Mumbay yang saat ini sedang mempersiapkan lokasi Budidaya Mutiara di Andaman and Nicobar sea, India.
Dalam persidangan dijelaskan pula bahwa pengusaha budidaya mutiara sangat berkepentingan terhadap kondisi perairan yang subur bersih dan bebas polusi mengingat kerang mutiara adalah biota laut yang makan makanan berupa plankton dengan cara menyaring air laut.
Sidang praperadilan ini terus menjadi sorotan publik, terutama di kalangan pelaku usaha sektor kelautan dan perikanan, karena implikasinya sangat luas terhadap pelaku usaha dan industri sektor Kelautan dan Perikanan. Sidang akan dilanjutkan Kamis (20/03/2025) dengan mendengarkan keterangan saksi dan ahli lainnya.
Pewarta: Red
Editor: R7 - 01
0Komentar